Jawa
Barat Provinsi Paling Diskriminatif
Komisi
Nasional Perempuan mencatat ada 421 kebijakan diskriminatif di Indonesia dari
2009 hingga 2016. Jawa Barat berada di urutan teratas dengan 97 kebijakan yang
dinilai diskriminatif mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi.
Ketua Gugus Kerja
Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan Khariroh Ali
menyatakan, tahun 2016 ini adalah tahun ketujuh pihaknya mengingatkan
pemerintah atas jumlah kebijakan diskriminatif sejak tahun 2009. Pada 2016, ada
33 kebijakan baru dari jumlah kebijakan diskrimnatif tahun sebelumnya yang
berjumlah 389 kebijakan.
"Dari 33 kebijakan
diskriminatif yang kami temukan sampai Agustus 2016, ada satu kebijakan
diskriminatif yang telah dibatalkan yakni larangan laki-laki dan perempuan
berkeliaran di malam hari yang dibatalkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat," kata Khariroh di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis 18
Agustus 2016.
Berdaskan data Komnas
Perempuan, dari 33 kebijakan diskrimnatif yang ditemukan pihaknya pada 2016
lagi-lagi Jawa Barat berada di posisi tinggi bersanding dengan Daerah Istimewa
Aceh. Di Jawa Barat terdapat delapan kebijakan yang dinilai diskriminatif.
Menurut analisis
Khariroh, kebijakan yang diskriminatif itu umumnya mengatur ketertiban umum.
Sayangnya, kerap tidak ada batasan baku mengenai lingkup ketertiban umum itu
sehingga tak jarang mengatur seluruh aspek mulai dari pengaturan di jalan raya,
kegiatan usaha, administrasi kependudukan, pornografi, hingga pengaturan
ibadah.
"Melalui kebijakan
ini, pemerintah daerah tak jarang mengkriminalkan tindakan yang seharusnya
dijamin konstitusi. Misalnya hak berkumpul dianggap sebagai tindakan asusila.
Di sini ada pengabaian asas praduga tak bersalah serta peraturan multitafsir,"
ucapnya.
Komnas juga mencatat
pemerintah daerah masih gemar melakukan kebijakan yang mengutamakan simbolisasi
agama sehingga gemar mengeluarkan kebijakan yang secara langsung membatasi dan
mengabaikan pemenuhan hak konstitusi. Pihaknya pun mendorong pemerintah serius
menangani ketidakpatuhan penyusunan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah.
"Ketidakpatuhan
pada UU Nomor 12 tahun 2011 merupakan pengikisan kewibawaan hukum dan
integritas pemerintah," ucapnya.
Komnas Perempuan pun
menyesalkan, dari 3134 perda yang dibatalkan menteri dalam negeri pada Juni
2016, seluruhnya berkaitan dengan investasi dan perizinan. Ada keraguan
pemerintah menggunakan mekanisme pembatalan yang tercantum di UU Nomor 23 tahun
2014 tentang pemerintah daerah terhadap peraturan yang diskriminatif.
"Hasil catatan
kami ini akan dibawa kemudian ke Kemendagri," ucapnya.
Sementara itu, Ketua
Komnas Perempuan Azriana menuturkan upaya menghapus kebijakan diskriminatif
memang berat. Terlebih lagi, ada politisasi yang membuntutinya sehingga tak
jarang penghapusan kebijakan diskriminatif bertentangan dengan kelompok agama.
Sebagai contoh,
pengapusan perda terkait investasi oleh pemerintah beberapa waktu lalu yang
dianggap sebagian orang sebagai bentuk pelemahan pada perda pro agama.
"Kita tahu setelah
otonomi daerah, masing-masing daerah punya semangat menunjukkan identitas
masing-masing. Tapi ini harus diatur. Kebhinekaan adalah jati diri bangsa
Indonesia yang harus dirawat dan dilindungi," kata Azriana.
Dia menambahkan, hak
konstitusional jadi tanggung jawab penyelenggara negara dan diberikan kepada
seluruh masyarakat bukan hanya minoritas baik dari segi agama maupun gender.
Pemerintah harus punya cara yang ampuh untuk memastikan tidak ada hak
konstitusi yang terlanggar oleh kebijakan diskriminatif.
"Harus ada
kebijakan hukum bagi yang melanggar dan ada pembatalan dari pemerintah. Kalau
negara tidak bisa menegakkan konstitusi, siapa lagi?," ucapnya retoris.
Komnas Perempuan juga
mencatat, sepanjang 2009 sampai 2016, ada 349 Perda kondusif yang mendukung
perlindungan pada perempuan. Jawa Barat dalam hal ini berada di peringkat ke-5
bersanding dengan Bengkulu yang memiliki 15 perda kondusif.
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2016/08/19/jawa-barat-provinsi-paling-diskriminatif-377732