ANALISIS TENTANG HUBUNGAN DUA KEBUDAYAAN YANG BERBEDA
YAITU BUDAYA BETAWI DENGAN BUDAYA SUNDA
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia
memiliki dua kekayaan yang membedakannnya dengan makhluk lain yakni, akal dan
budi yang memunculkan cipta, rasa, dan karsa. Akan tetapi manusia lebih
didomininasi oleh akal sehingga mereka kurang peka akan masalah – masalah
sosial yang terjadi dilingkungannya, bangsanya dan negaranya. Begitu pula yang
terjadi pada kalangan mahasiswa di perguruan tinggi. Untuk itulah Ilmu Budaya
Dasar diperkenalkan pada perguruan tinggi pada tahun 1970. Ilmu Budaya Dasar
merupakan “Body of Knowledge” (tubuh keilmuan) dengan sasaran masalah – masalah
manusia dan budayanya mencakup filsafat, teologi, sejarah, seni dan cabang –
cabangnya. Dan sasarannya juga untuk memecahkan masalah – masalah yang dihadapi
manusia dalam kedudukanyya sebagai makhluk berbudaya.dalam penuntasan masalah
dapat diselesaikan secara manusiawi; dalam arti tidak sampai menimbulkan
kerugian bagi semua pihak yang terlibat dengan cara juga meperhatikan
kepentingan orang lain bukan hanya kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain
IBD mampu menjadikan manusia manusia yang mempelajari lebih berbudaya atau
lebih manusiawi.
2. TEORI
1. Pengertian Ilmu Budaya Dasar
Ilmu Budaya Dasar
adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan
pengertian umum tentang konsep-konsep yang diekembangkan untuk mengkaji
masalah-masalah manusia dan kebudayaan. Istilah IBD dikembangkan petama kali di
Indonesia sebagai pengganti istilah basic humanitiesm yang berasal dari istilah
bahasa Inggris “the Humanities”. Adapun istilah humanities itu sendiri berasal
dari bahasa latin humnus yang astinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan
mempelajari the humanities diandaikan seseorang akan bisa menjadi lebih
manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus. Dengan demikian bisa dikatakan
bahwa the humanities berkaitan dengan nilai-nilai manusia sebagai homo humanus
atau manusia berbudaya. Agar manusia menjadi humanus, mereka harus mempelajari
ilmu yaitu the humanities disamping tidak meninggalkan tanggungjawabnya yang
lain sebagai manusia itu sendiri. Untuk mengetahui bahwa ilmu budaya dasar
termasuk kelompok pengetahuan budaya lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan
ilmu pengetahuan.
Ilmu budaya dasar
merupakan jalan atau arah didalam bertindak dan berfikir untuk memenuhi
kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani.Sedangkan Secara sederhana IBD
adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan
pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji
masalah-masalah manusia dan kebudayaan.
2. Ruang lingkup Ilmu Budaya Dasar
Ada 2 masalah pokok
yang menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup kajian Ilmu
Budaya Dasar , yaitu :
1.
Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya
merupakan ungkapkan masalah kemanusiaan dn berbudaya yng dapat didekati dengan
menggunakan pengetahuan budaya.
2.
Hakekat manusia yang satu tau universal, akan
tetapi yang beraneka ragam perwujudannya dalam kehidupan masing-masing jaman
dan tempat.
Menilik kedua masalah pokok yang bias dikaji dlam mata kuliah ilmu budya dasar
tersebut diatas manpak dengan jelas bahwa manusia menempati posisi sentral
dalam pengkajian.
3.
Pokok bahasan yang akan dikembangkan adalah :
-Manusian dan cinta
kasih
- Manusia dan
keindahan
- Manusisa dan
penderitaan
- Manusia dn
keadilan
- Manusia dan
pandangan hidup
- Manusia dan
tanggung jawab serta pengabdian
- Manusia dan
kegelisahan
- Manusia dan
harapan.
4.
Kedelapan pokok bahasan itu termasuk dalam karya
yang tercakuo dalam pengetahuan budaya. Perwujudan mngenai cinta, misalnya,
terdapat dalam karya sastra, tarian, musical, ilsafat, lukisan, patung dan
sebagainya.
Ilmu budaya dasar bukan ilmu sastra, ilmu tari, ilmu filsafat dan lain ilmu
yang terdapat dalam pengetahuan budaya. Ilmu budaya dasar hanya mempergunkan
karya-karya yang terdapat dalam pengetahuan budaya untuk mendekti
masalah-masalah kemanusiaan dan budaya.
3. Budaya Betawi
1. Sejarah
Diawali oleh
orang
sunda (mayoritas),
sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam
kerajaan tarumanegara serta kemudian
pakuan
pajajaran.
Selain orang sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari
pesisir utara
jawa,
dari berbagai pulau indonesia timur, dari
malaka di
semenanjung malaya, bahkan dari
tiongkok serta
gujarat di
india.
Selain
itu, perjanjian antara surawisesa (raja kerajaan sunda) dengan bangsa portugis
pada tahun 1512 yang membolehkan portugis untuk membangun suatu komunitas di
sunda kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa portugis yang menurunkan darah campuran portugis. Dari komunitas ini
lahir musik keroncong.
Setelah
VOC menjadikan batavia sebagai
pusat kegiatan niaganya, belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka
lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak
membeli budak dari penguasa bali, karena saat itu di bali masih berlangsung
praktik perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa
bali dalam bahasa betawi kini. Kemajuan perdagangan batavia menarik berbagai
suku bangsa dari penjuru nusantara hingga tiongkok, arab dan india untuk
bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam
busana pengantin betawi yang banyak dipengaruhi unsur arab dan tiongkok.
Berbagai nama tempat di jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai
datangnya berbagai suku bangsa ke batavia; kampung melayu, kampung bali,
kampung ambon, kampung jawa, kampung makassar dan kampung bugis.
Rumah bugis di bagian
utara jl. Mangga dua di daerah
kampung bugis yang
dimulai pada tahun
1690.
Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah
kota.
Antropolog
universitas indonesia,
Dr. Yasmine zaki shahab, ma memperkirakan,
etnis betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun
1815-
1893. Perkiraan ini
didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk jakarta yang dirintis
sejarawan australia,
lance castle. Di zaman
kolonial belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk jakarta tahun
1615 dan
1815, terdapat penduduk
dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai
golongan etnis betawi. Hasil sensus tahun
1893 menunjukkan
hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang arab
dan
moor,
orang bali, jawa, sunda, orang
sulawesi
selatan, orang
sumbawa, orang
ambon dan
banda, dan orang melayu.
Kemungkinan kesemua suku bangsa nusantara dan arab moor ini dikategorikan ke
dalam kesatuan penduduk pribumi (belanda: inlander) di batavia yang kemudian
terserap ke dalam kelompok etnis betawi.
2. Penduduk Betawi
Merupakan komunitas
penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu, dikemudian
hari disebut sebagai orang Betawi.Orang Betawi ini disebut
juga sebagai orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara
orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor,
Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang
mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal abad ke-15. Di
samping itu, juga merupakan percampuran darah antara berbagai etnis:
budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu Eropa lainnya,
pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau serdadu Ambon,
Kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan orang Mestizo.
Sementara
itu mengenai manusia Betawi purbakala, adalah sebagaimana manusia
pulau Jawa purba pada umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi
purba sudah mengenal bercocok tanam.Mereka hidup berpindah-pindah dan
selalu mencari tempat hunian yang ada sumber airnya serta banyak
terdapat pohon buah-buahan. Mereka pun menamakan tempat
tinggalnya sesuai dengan sifat tanah yang didiaminya, misalnya nama
tempat Bojong, artinya "tanah pojok".
Dalam
buku Jaarboek van Batavia (Vries, 1927) disebutkan bahwa semula
penduduk pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan
bercampur dengan suku-suku lain dari Nusantara juga dari Eropa, Cina,
Arab, dan Jepang. Keturunan mereka disebut inlanders, yang bekerja
pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga,
kusir, supir, pembantu kantor, atau opas. Banyak yang merasa bangga
kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya kecil.
Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan sandal,
tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue, atau
berkeliling kota dengan "warung dorongnya". Sementara
sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih merujuk kepada
bahasa pergaulan (lingua franca) yang dipergunakan seseorang, di samping
nama "Melayu" sendiri memang sudah menjadi sebutan bagi
suku bangsa yang berdiam di Sumatra Timur, Riau, Jambi dan
Kalimantan Barat.
Posisi
wanita Betawi di bidang pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan
dalam angkatan kerja relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan
wanita lainnya di Jakarta dan propinsi lainnya di
Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita Betawi dalam pendidikan
disebabkan oleh kuatnya pandangan hidup tinggi mengingat tugas wanita
hanya mengurus rumah tangga atau ke dapur, disamping
keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat
lagi dengan adanya prinsip kawin umur muda masih
dianggap penting, bahkan lebih penting dari pendidikan.Tujuan
Undang-Undang Perkawinan untuk meningkatkan posisi wanita tidak banyak
memberikan hasii. Anak yang dilahirkan di Jakarta,
tidak mempunyai hubungan dengan tempat asal di luar
wilayah bahasa Melayu, dan tidak mempunyai hubungan kekerabatan
atau adat istiadat dengan kelompok etnis lain di Jakarta.
3. Kepercayaan
Orang
Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen;
Protestan dan Katholik juga ada namun hanya sedikit sekali.Di antara suku
Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.Hal ini wajar karena pada
awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis
yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda
Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.Komunitas Portugis
ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
4. Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi).Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena
itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum
Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda
menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda
dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari
Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih
tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak,
Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi
Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan
penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini
disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang
digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
4. Budaya Sunda
1.
Pengertian Budaya Sunda
Budaya Sunda
adalah
budaya yang
tumbuh dan hidup dalam
masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan
budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter
masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (someah), murah senyum,
lemah-lembut, dan sangat menghormati
orangtua.
Itulah cermin budaya masyarakat Sunda. Di dalam
bahasa Sunda diajarkan
bagaimana menggunakan bahasa halus untuk berbicara dengan orang yang lebih tua.
2.
Kebudayaan Sunda
Kebudayaan Sunda
merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa
Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan.
Berikut ini
kebudayaan-kebudayaannya
1.
Sistem Kepercayaan
Hampir semua
masyarakat sunda beragama Islam namun ada beberapa yang bukan beragama islam.
Namu pada proses perkembangan agama Islam, tidak seluruh wilayah tatar Sunda
menerima sepenuhnya, contoh nya di baduy.
Dasar religi
masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat
monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu
kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara
Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala
(Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi,
konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan
kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti,
Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia
melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang
Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.
2.
Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan
orang Sunda bersifat parental atau bilateral yaitu hak dan kedudukan
anggota keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu sama. Dilihat dari ego,
orang Sunda mengenal istilah :
·
Tujuh generasi ke atas : bapa–indung
(ayah–ibu), aki–nini (kakek–nenek), buyut (cicit), bao, janggawareng,
udeg-udeg dan gantung
siwur..
·
Tujuh generasi ke bawah: anak, incu/putu (cucu),
buyut (cicit), bao, janggawaeng, udeg-udeg dangantung
siwur.
3. Analisis Budaya Betawi Dan Budaya Sunda
Budaya Betawi :
1.
Kepercayaan
Sebagian besar
Orang Betawi menganut agama
Islam, tetapi yang menganut agama
Kristen;
Protestan dan
Katolik juga
ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen,
ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk
lokal dengan bangsa
Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16,
Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang
membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan
Sunda Kalapa sehingga
terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang
masih ada dan menetap di daerah
Kampung Tugu,
Jakarta Utara.
2.
Profesi
Di
Jakarta,
orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era
pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (
kampung)
mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong
banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain).
Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H.
Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh
kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
3.
Perilaku Atau Sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin,
Benyamin Sueb,
dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa
hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung
tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin
dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan
hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi
sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan
warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke
masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa
dimungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak
terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri. Namun tetap ada
optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang
modernisasi tersebut.
4.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada
juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi).Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena
itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum
Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Budaya Sunda :
1.
Kepercayaan
Mayoritas orang Sunda beragama
Islam (sekitar
99,8%). Ada juga sebagian kecil orang Sunda yang beragama
Kristen (sekitar
0,1%) dan
Sunda Wiwitan (sekitar 0,1%). Agama Sunda
Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di
Kuningan dan masyarakat
suku Baduy di Lebak
Banten yang
berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
2.
Bahasa
Dalam
percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini
telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata.
[5] Seperti
yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota
Bandung,
Bogor, dan
Tangerang, dimana banyak
masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada beberapa
dialek dalam
bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan
yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam
dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
Dialek Utara
Dialek Selatan
(Priangan)
Dialek Tengah
Timur
Dialek Tenggara
Dialek Barat
dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup daerah Sunda
utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek Selatan
adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu
dialek Tengah Timur adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Dialek
Timur Laut adalah dialek di sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di beberapa
kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek
Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten
Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.
3.
Kekerabatan
Sistem keluarga dalam suku Sunda
bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan ibu. Dalam
keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan
yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat
mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya
pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.
Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan
vertikal. Yaitu anak, euncu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau
janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang
berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak,
anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang
berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak
kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula
kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih
sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna
sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
4. Daftar Pustaka
1.
Napsirudin dkk. Pelajaran Pendidikan Seni. 2003.
Jakarta. Penerbit: Yudhistira
2.
Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam
Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB,
1997
3.
Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi.
Pralokarya Penggalian Dan Pengem¬bangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1976
4.
Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah
Sunda. Bandung. Ganaco Nv.
5.
Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah
Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya Historica. Bandung.
6.
Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan.
Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
7.
Nugroho, W., & Muchji, A. (1996). Ilmu
Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma
8.
Joko Tri Prasetya, Drs. Dkk., (2013). Ilmu
Budaya Dasar, cet 5, Jakarta : Rineka Cipta