Selasa, 30 April 2013

Cerpen Lucu!!!!!



Mamat kesal. Beberapa hari ini dia melihat teras depan rumahnya kotor. Bukan oleh kotoran yang masuk atau sengaja dilempar orang tetapi karena tanah yang berasal dari taman dan pot bunga di sebelah teras berhamburan keluar.
Selidik punya selidik ternyata tanah tersebut berhamburan oleh karena adanya ulah 2 ekor oknum. Ekor? Ya, karena penyebabnya adalah 2 ekor ayam kate (pendek) yang dimiliki oleh tetangga sebelah rumah Mamat.
Sambil menyapu sisa-sisa tanah di teras dan lanjut dengan mengepelnya, Mamat berpikir-pikir bagaimana cara memberi tahu tetangganya itu tentang kelakuan 2 ekor ayam kepunyaan mereka. Maklumlah, tetangganya Mamat itu adalah seorang tentara. Mamat pernah mencuri dengar bagaiman si tentara mensetrap anak-anaknya. Anak-anaknya berbaris dan diinterogasi satu per satu saat menemukan adanya lecet di salah satu bagian luar Kijang kebanggaan si tentara. Hii.. ngeri, Mamat cuma bisa membayangkan apa kira-kira reaksi si tentara saat Mamat memberitahukan ulah ayam-ayam yang dimiliki oleh si tentara itu.
Akhirnya Mamat mendapat ide. Diambilnya secari kertas yang cukup tebal. Mamat tampak menuliskan sesuatu pada kertas tebal itu. Setelah selesai menulis, dipasangnya tali raffia pada bagian atas kertas tebal itu dan menggantungnya di bagian depan pagar.
Besoknya saat membersihkan bagian jalan di depan rumahnya dari dedaunan yang berjatuhan, Mamat ditegur oleh tetangganya si tentara tadi.
“Mas, maksudnya tulisan itu apa ya? Kan ayam nggak bisa baca Mas?”, tanya si tentara.
“Iya Mas, memang maksudnya bukan untuk ayamnya tapi untuk pemiliknya”, jawab Mamat sedikit kecut takut si tentara marah. Si tentara mukanya langsung berubah dan ngeloyor pergi. Mamatpun menyelesaikan pekerjaannya membersihkan dedaunan dan masuk ke dalam rumahnya bergegas untuk mandi dan bersiap-siap ke kantor. Tulisan Mamat bunyinya sederhana, “Ayam-Ayam Dilarang Masuk!”.
Sore harinya ternyata Mamat menemukan hal yang sama. Tanah di terasnya kembali berantakan. Kali ini Mamat melihat sendiri ulah 2 ekor ayam itu dengan tenangnya mengais-ngais tanah dan membuat tanah itu berantakan menutupi teras berlapis keramik mengkilat yang langsung seketika itu kelihatan kotor. Karena kesal, dengan sigap Mamat mengambil sapu yang biasa dipakai untuk menyapu teras. Dikejarnya kedua ayam itu. Dipukulkannya sapu itu kuat-kuat. Takkk! Suara sapu keras menghantam lantai terdengar. Tak satu ayampun yang kena. Ayam-ayam itu dengan lincahnya kabur melalui celah-celah pagar. Mamat kembali berpikir bagaimana cara menyadarkan si pemilik ayam agar ayam-ayamnya tidak masuk ke teras rumah Mamat dan membuat kotor teras dengan mengais-ngais tanah. Mamat kemudian tampak mengangguk-angguk sendiri. Rupanya sudah ada rencana yang akan dikerjakannya besok. Dibiarkannya saja tanah itu mengotori teras rumahnya.
Keesokan paginya saat yang ditunggu Mamat pun tiba. Biasanya pada pagi hari sudah terdengar aktifitas di rumah sebelah. Suara pagar terdengar diseret. Sebentar lagi pasti si empunya rumah keluar! Pikirnya. Ternyata setelah pagar dibuka bukan si empunya rumah yang keluar tapi 2 ekor ayam kate itu lagi. Mamat sengaja mundur masuk ke dalam rumah dan menutup pintu depan. Ayam-ayam kate pun masuk dan mulai mengais-ngais tanah. Dengan sabar Mamat tetap menunggu. Ternyata benar, seorang ibu agak tua tampak keluar. Segera Mamat menghampiri si ibu sambil berkata, “Pagi Bu, ayam-ayam ini punya ibu ya bu? Kalau bisa dikurung Bu. Teras saya jadi berantakan begini”, Mamat menyampaikan maksudnya. Si ibu kelihatan tampak merasa bersalah dan ikut masuk melihat teras rumah Mamat yang kotor.
“Wah, maaf Mas, ini baru jelas Mas. Ada buktinya. Sekali lagi maaf ya Mas, nanti saya bilang sama mantu saya ya..” Ibu itu sibuk minta maaf berkali-kali. Mamat hanya bingung mendengar kata-kata “bukti” tadi. Maksudnya apa ya? Apa karena dengan jelas dia melihat ayam-ayamnya yang bikin kotor? Wah, kalau begitu untung tadi aku menunggu supaya ayam-ayam itu masuk dulu, pikir Mamat.
Setelah membersihkan teras yang kotor, Mamat langsung bersiap-siap untuk ke kantor. Dalam hati dia berharap kalau nanti sore pulang tidak akan lagi ditemuinya pemandangan teras kotor seperti yang sudah-sudah.
Ternyata Mamat salah! Sore itu ketika Mamat sudah pulang terlambat karena jalanan yang macet. Pemandangan teras kotor dengan tanah bercampur cipratan tahi ayam masih juga ditemuinya. Mamat menggerutu. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah gagah penuh amarah Mamat menuju pagar rumah tetangganya. Karena tak ada bel, Mamat langsung mengetuk keras-keras pagar tetangganya. Seorang perempuan berumur tiga puluhan keluar dengan wajah kesal tak enak dipandang.
“Ada apa sih Mas?” tanya perempuan itu gusar. “Kok ngetoknya keras-keras gitu?” lanjutnya.
“Ini lho mbak ayam-ayamnya ini lho.. kemarin saya sudah bilang ke ibunya kalau bisa ayam-ayamnya dikurung biar nggak berantakin teras saya…”, jawab Mamat dengan suara agak keras.
“Lha, ayam-ayamnya di dalam kok Mas. Nggak mungkinlah ayam-ayam saya berantakin terasnya Mas. Tapi ya sudahlah saya minta maaf deh..”, perempuan itu menjawab sekenanya sambil langsung menutup pintu pagar. Masuk ke rumahnya pun dia membanting pintu keras-keras. Mamat hanya bisa melongo. Kembali ke rumah, sambil masih tetap kesal, dibersihkannya teras itu. Istrinya yang melihat Mamat kesal hanya geleng kepala melihat kekesalan Mamat. Dibuatkannya secangkir kopi untuk Mamat agar Mamat tak terlalu kesal lagi.
Keesokan paginya, saat sedang berada di dapur, Mamat mendengar suara berkotek-kotek dari teras rumahnya. Segera diintipnya lewat jendela. Benar saja, ternyata 2 ekor ayam kate itu dengan santainya mengais-ngais tanah di taman sebelah teras. Terasnya pun sudah tampak kotor. Mamat tampak menggelengkan kepalanya. Dia tak mengerti sekaligus kesal dengan ulah tetangganya itu. Karena kesal dengan sigap Mamat keluar dari pintu dapur dan dengan cepat menyambar sapu. Dengan sigap dikejar Mamat kedua ayam itu. Rupanya ayam-ayam itu tak semua lincah. Ada satu ayam yang lebih kecil, sepertinya ayam betina tidak terlalu cepat berlari. Plakk! Pukulan sapu Mamat menghantam ayam itu pas kena di kakinya. Si ayam tampak masih berusaha kabur dengan berjalan terseok-seok. Mamat mengangkat sapunya lagi. Saat mau dipukulkannya, sejenak rasa iba hinggap dalam dirinya melihat ayam itu berjalan terseok-seok. Akhirnya tak jadi dipukulkan Mamat sapu itu pada ayam betina tersebut. Si ayam langsung lolos masuk lewat bawah pagar ke rumah tetangga menyusul si ayam jantan yang sudah duluan kabur meninggalkan si betina.
Perasaan Mamat campur aduk. Antara puas dan kasihan melihat nasib si ayam yang dia pukul tadi. Sebenarnya bukan ayam itu yang salah, begitu pikir Mamat.
Malamnya bel pintu rumah Mamat berbunyi. Rupanya Pak RT datang. Ah paling-paling ada undangan acara RT nih, pikir Mamat. Ternyata bukan. Mamat ternyata diadukan oleh tetangga sebelah rumahnya karena ayam betina yang tadi dipukul Mamat ternyata akhirnya mati. Mamat bingung. Dia bertanya ke Pak RT dari mana Pak RT tahu kalau Mamat yang memukul ayam itu. Oleh Pak RT dijawab, kalau tetangga Mamat melapor bahwa selama ini Mamat tampak tidak suka dengan kehadiran 2 ekor ayam itu. Mamat makin bingung. Dia mencoba menjelaskan peristiwa tadi pagi. Mamat menjelaskan bahwa setelah dia pukul, si ayam masih bisa berjalan walau terseok-seok. Pukulannya pun hanya mengenai bagian kaki si ayam, Mamat berupaya menjelaskan. Pak RT tampak mengangguk-angguk. Tapi kata-kata Pak RT kemudian malah membuat Mamat semakin bingung.
“Gini Mas, sampeyan kan minoritas di sini. Yah, tolonglah hargai yang mayoritas. Oke ya.. saya permisi dulu. Kalau bisa besok pagi Mas datang minta maaf ke sebelah ya..”
“Tapi Pak RT…”, Mamat tak puas.
“Sudahlah, sampeyan ikut aja omongan saya..”, Pak RT beranjak pergi.
Tinggallah Mamat yang bingung. Apa hubungan mayoritas dan minoritas? Ini kan cuma masalah ayam yang membuat kotor terasnya?
Keesokan paginya dengan berbesar hati Mamat menemui istri si tentara. Saat itu si isteri tentara sedang menyuapi anaknya. Si anak yang mengendarai sepeda roda tiga sesekali mendatangi ibunya untuk menerima suapan demi suapan. Dengan datar Mamat menyampaikan permintaan maaf kerena telah melukai salah satu ayam tetangganya. Mamat menerima saja disemprot kata-kata tajam bertubi-tubi dari tetangganya. Katanya Mamat tak berkepribinatangan. Yang lucunya, sekilas Mamat sempat melihat makanan yang dimakan si anak. Tampak paha ayam ukuran kecil yang digoreng ada di situ. Tapi ya sudahlah Mamat tak mau berandai-andai.
Keesokan harinya dibeli Mamat dua karung kerikil. Dihamparkannya kerikil itu merata pada bagian yang bertanah di taman dekat terasnya. Kerikil-kerikil juga disusun Mamat pada tiap pot bunga berisi tanaman yang masih menyisakan tanah yang bisa dikais-kais oleh si ayam. Paling tidak tanahnya tidak berantakan lagi, begitu pikir Mamat.
Ternyata ide Mamat cukup berhasil. Sore hari tak tampak tanah berserakan. Hanya dua gunduk kecil basah berlendir tahi ayam yang ada di terasnya. Mamat tak mau kesal, dibiarkannya saja tahi ayam itu. Bergegas Mamat masuk ke rumahnya. Banyak hal yang lebih penting sekedar mengurusi tahi ayam, pikirnya. Tapi tetap Mamat tak habis pikir apa hubungan ayam, tanah yang berantakan, tahi ayam dengan minoritas dan mayoritas. Ah sudahlah, pikirnya. Diseruput Mamat secangkir kopi panas buatan istrinya. Ngobrol-ngobrol santai dengan isterinya sore itu membuat Mamat sejenak melupakan masalah ayam tadi. Terserah padamulah ayam, paling-paling nanti kau juga nanti akan digorengnya. Mamat tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar